Catatan Refrizal Terhadap RAPBN 2018

31-08-2017 / KOMISI XI

Anggota Komisi XI DPR Refrizal menyampaikan beberapa catatannya terkait dengan RAPBN 2018. Politisi senior asal PKS ini memberikan perhatian khusus terhadap Isu tentang kemiskinan, ketimpangan dan posisi utang Indonesia. Mengenai angka Kemiskinan, Refrizal berpendapat bahwa pengurangan angka kemiskinan di Era Pemerintahan Jokowi mengalami perlambatan yang cukup signifikan.

 

“Pada era 2009-2014 rata-rata angka kemiskinan berkurang sebanyak 0,58% per tahun, sedangkan pada era Jokowi pengurangan angka kemiskinan hanya sebesar 0,26% per tahun. Tentu ini menunjukkan gejala bahwa program yang dijalankan oleh Pemerintah saat ini kurang tepat,” ungkap Refrizal di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis, (31/8/2017).

 

Selanjutnya, Refrizal menyampaikan bahwa perlu perhatian serius soal ketimpangan. Target Penurunan Tingkat Kesenjangan (Gini Ratio) pada tahun 2017 dan 2018 sebesar 0,38 persen, realisasinya berdasarkan data BPS per September 2016 Gini Ratio berada diangka 0,394 dari sebelumnya 0,408 di Maret 2015. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja pemerintah belum optimal dalam mengurangi ketimpangan stagnan.

 

Mengenai ketimpangan, Bank Dunia memberikan warning soal potensi ledakan sosial akibat ketimpangan yang semakin lebar. “Upaya pemerintah dalam mendorong aktivitas  yang berorientasi pada masyarakat golongan menengah ke bawah belum terlaksana dengan baik. Indikatornya adalah tingginya inflasi di pedesaan terutama untuk bahan makanan, nilai tukar petani yang belum membaik, minimnya realisasi kredit UMK yang hanya sebesar 18% dari total kredit perbankan,” paparnya.

 

Selain kemiskinan dan ketimpangan yang belum membaik, isu mengenai utang juga perlu diperhatikan dalam RAPBN 2018. Faktanya utang telah menjadi beban anggaran dari tahun ke tahun.

 

Refrizal menyampaikan bahwa pada 2015, pembayaran kewajiban bunga utang pemerintah mencapai Rp 155 triliun atau 8,6 persen dari belanja negara, angka ini melonjak menjadi Rp 247 triliun (11,2%) pada RAPBN 2018. “Perlu diperhatikan bahwa beban pembayaran bunga utang pada RAPBN 2018 jauh lebih tinggi dibanding belanja subsidi dan belanja fungsi perlindungan sosial yang hanya sebesar Rp 172 triliun dan Rp 162 triliun,” terangnya.

 

Ironisnya, defisit pada 2015 dan 2016 lalu tidak terencana dengan baik. Buktinya, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) pemerintah cukup besar yang berturut-turut mencapai Rp 24 triliun dan Rp 26 triliun. “Secara sederhana, besarnya SiLPA berarti negara merugi karena sudah berutang tetapi tidak menggunakan utang tersebut untuk pembangunan, padahal kita sudah menanggung beban bunga,” tutup Politisi asal Sumatera Barat ini. (hs/sc) Foto:Jaka/jk

BERITA TERKAIT
Fathi Apresiasi Keberhasilan Indonesia Bergabung dalam BRICS, Sebut Langkah Strategis untuk Perekonomian Nasional
08-01-2025 / KOMISI XI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI Fathi, menyampaikan apresiasi atas pengumuman resmi yang menyatakan Indonesia sebagai anggota penuh...
Perusahaan Retail Terlanjur Pungut PPN 12 Persen, Komisi XI Rencanakan Panggil Kemenkeu
05-01-2025 / KOMISI XI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun menegaskan pihaknya dalam waktu dekat akan memanggil jajaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu)...
Edukasi Pasar Modal Sejak Dini Dapat Meningkatkan Literasi Keuangan Generasi Muda
04-01-2025 / KOMISI XI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI Fathi menyambut baik usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menginginkan edukasi...
Anis Byarwati Apresiasi Program Quick Win Prabowo: Potensi Kebocoran Anggaran Harus Diminimalisasi
25-12-2024 / KOMISI XI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati, menyatakan apresiasi dan dukungannya terhadap komitmen Presiden Prabowo untuk menjadikan...